BANGKA TENGAH- Kejaksaan Agung masih meraba langkahnya dalam menetapkan tersangka baru terkait kasus Pertimahan di Bangka Belitung yang sempat mencuat di media sosial dan online.
Meskipun informasi tentang kongkalikong antara Cukong Timah dan Pemilik IUP yang diduga merugikan negara puluhan trilyun rupiah telah viral, keputusan Kejagung untuk mengambil tindakan tegas masih tergantung.
Aksi Kejaksaan yang seakan tak membuat gentar pemilik tambang di Bangka Tengah, khususnya yang terletak di lokasi Merapen 6, kecamatan Lubuk Besar, menjadi sorotan utama.
Meski belum ada tersangka baru yang ditetapkan dari eksternal PT Timah, pemilik tambang yang diduga milik H. Ton dan Yanto, warga setempat, tampaknya tak merasa terancam oleh tindakan hukum yang tengah menggelayuti kasus pertambangan di Bangka Belitung.
Verifikasi informasi yang dilakukan oleh tim AWAM BABEL di lokasi pada Minggu, 14 Januari 2024, mengungkapkan fakta mengejutkan. Koordinat -2°34’0,996″S 106°42’31,836″E menunjukkan bahwa lokasi tambang tersebut berada dalam garis hijau Hutan Lindung, mengundang kecaman dari berbagai pihak.
Seorang warga setempat yang diwawancarai oleh tim AWAM Babel mengungkapkan bahwa tambang ilegal di kawasan Hutan Lindung tersebut sudah berlangsung cukup lama.
Ironisnya, upaya penegakan hukum dari aparat kepolisian dan Gakkum LHK Babel nampaknya belum berhasil menyentuh aktivitas pertambangan ilegal ini.
“Tambang ini sudah lama, Pak. Kami mencari makan dari sini. Yang punya ini Yanto,” ungkap warga setempat, yang diidentifikasi sebagai YA.
Terkait status lokasi tambang, Yanto dengan tegas menyatakan bahwa tambang miliknya berada dalam kawasan Hutan Lindung. Informasi ini juga dikuatkan oleh rekannya, yang menyebutkan hal yang sama.
Namun, hal yang mengejutkan adalah bahwa koordinasinya terbilang kuat, dan terkadang terlihat ada beberapa orang yang datang untuk menunggu saat excavator bekerja.
“Berdasarkan keterangan warga, koordinasi kuat ini juga melibatkan oknum-oknum TNI dan Polisi,” jelas Yanto.
Setelah berbicara dengan Yanto, tim melanjutkan penyelidikan dan menyusuri lahan yang telah terluka parah akibat ekskavasi. Mesin alat berat terdengar berderu dari kejauhan, mengundang rasa penasaran tim untuk mengetahui aktivitas tersebut.
Tak lama berselang, tampaklah tiga tiang besi excavator berwarna kuning dan orange dalam jarak kurang dari 100 meter dari tim.
Seorang pria separuh baya yang mengendarai motor dengan mesin robin di belakangnya bersedia berbicara dengan awak media.
Dari percakapan itu, terungkap bahwa tambang yang berada dalam kawasan Hutan Lindung tersebut adalah milik H. Ton, warga setempat yang diketahui lama berkecimpung di dalamnya.
SN, sang pria, memberikan informasi menarik terkait tambang ilegal ini. Dia menyebutkan bahwa tiga alat berat di lokasi tersebut dibeking oleh oknum anggota TNI dan Polisi. Namun, dia tidak dapat memastikan alat berat mana yang dibeking oleh oknum TNI dan oknum Polisi.
“Ini PC yang bekerja di sini diatur oleh yang berbaju ijo. Ada juga yang dikoordinir yang berbaju coklat. Yang ijo namanya Pak PS, yang coklat saya lupa namanya. Untuk informasi yang lebih jelas, bisa langsung ke kemp sana. Di situ ada pengurus dan orang kepercayaan Pak Haji,” ungkap SN.
Dalam konfirmasi kepada Kapolres Bangka Tengah, AKBP Dwi Budi Murtiono, yang dilakukan oleh redaksi melalui aplikasi WhatsApp pada pukul 23.11 WIB, belum mendapatkan respons hingga berita ini dipublikasikan.
Namun, berita ini mencoba menggali lebih dalam terkait situasi di lapangan dan bagaimana aparat penegak hukum merespons laporan tersebut.
“Selamat malam Pak Kapolres… Ijin konfirmasi, kami melakukan investigasi di lapangan di Merapen 6, Lubuk Besar, pada hari Minggu 14 Januari 2024. Di lapangan, ditemukan 4 unit alat berat, 2 merek Lughong dan 2 Hitachi.
Informasi yang berhasil kami kumpulkan di lapangan menyebutkan bahwa, tambang ilegal di dalam kawasan Hutan Lindung Merapen 6 tersebut milik H. TON dengan menggunakan 3 alat berat.
Tambang milik Yanto menggunakan 1 alat berat Hitachi. Dari warga di lokasi, kami mendapat informasi adanya keterlibatan oknum aparat yang datang ke lokasi dan mengambil ‘jatah’.
Dari 4 unit PC tersebut, 3 PC diduga dikoordinir oknum TNI dan 1 PC diduga oknum Polisi yang bertugas di Bangka Tengah. Koordinat lokasi -2°34’0,996″S 106°42’31,836″E adalah lokasi tambang ilegal milik Yanto, dan koordinat -2°33’35,556″S 106°41’38,538″E adalah lokasi tambang milik H. Ton.
Kedua lokasi tersebut berada dalam garis hijau. Saat ini kita ketahui, Kejaksaan Agung sedang gencar membongkar praktek ilegal penambangan di wilayah Bangka Belitung.
Bagaimana tanggapan Bapak Kapolres? Apakah akan mengikuti jejak Kejaksaan Agung dalam memutus mata rantai pertambangan ilegal, apalagi tambang ilegal yang dilaporkan ini berada di dalam kawasan Hutan Lindung?” tulis redaksi dalam pesan WA tersebut.
Dengan berbagai fakta yang terungkap, peran Kejaksaan Agung dan Kepolisian Bangka Tengah menjadi sorotan. Sejauh mana tindakan hukum akan diambil, dan apakah pertambangan ilegal ini dapat ditanggulangi untuk melindungi kawasan Hutan Lindung yang terancam.
Hingga saat ini, keberlanjutan investigasi dan tindakan aparat penegak hukum menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat dan lingkungan sekitar yang terkena dampak langsung dari aktivitas pertambangan ilegal tersebut.
Dalam situasi yang semakin meresahkan, harapannya adalah bahwa keadilan dan perlindungan lingkungan dapat menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum di Bangka Tengah.
(Sumber : Awam Babel, Editor : KBO Babel)