PEKANBARU, Riauintegritas.com – Pasca Pertemuan di Kantor Desa Petani antar Gakumdu, Komisi II DPRD Riau dan pihak terkait mendapat tanggapan pakar lingkungan hidup Dr. Elviriadi.
Ya, saya sudah ke Desa Petani. Pematokan tanah oleh pihak terkait itu keliru. Hutan Produksi Terbatas (HPT) itu punya kriteria yang jelas, “tuturnya kepada media ini Kamis (9/2/23).
Akademisi yang kerap jadi saksi ahli di pengadilan itu menilai pematokan dan penindakan petani desa Batin Solapan terlalu gegabah.
“HPT itu arealnya sulit di budidaya, diolah manusia. Karena topografinya miring dan lereng, berada di pegunungan. Inikan arealnya datar. Existing bukan sama sekali bukan hutan, melainkan sudah diolah berkali kali oleh korporasi dan masyarakat sejak 2003,.” imbuhnya.
Ketua Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah itu menyayangkan penetapan kawasan hutan tanpa kajian.
“Saya menyayangkan penetapan kawasan hutan tanpa kajian komprehensif dan memperhatikan konflik sosiologis. Harusnya digali dulu asal usul tanah tersebut dan legalitas yang pernah ada,” ungkapnya.
“”Aaacch payah. Yang merusak hutan tentu perusahaan namanya ..aduh lupa, yang memulai usaha dikawasan itu tahun 2003-2018. Atau orang sebelumnya. Dan mungkin juga Koperasi anak angkat Perusahaan Sawit di TKP. Kok Tetiba orang belakangan 3 petani Bhatin Solapan pulak kena getahnya?” tanya Dr.Elv yang. Selalu gundul demi hutan Riau.
Sebelumnya diberitakan, Wakil Ketua Komisi II DPRD Provinsi Riau, Zulfi Mursal SH menyampaikan, kami dari komisi II turun ke Desa Petani dalam rangka kunjungan kerja insidentil, kemudian kita ingin pastikan apakah lahan itu benar ada atau tidak lahan tersebut, dan bagaimana mekanismenya cara pengelolaan HPT apakah diperbolehkan atau tidak di kelola oleh Masyarakat, menyangkut adanya korban warga yang sudah menjadi tahanan pihak kepolisian akibat persoalan ini, tentu juga ada pihak-pihak lain yang berada di dalam kawasan HPT dan mereka juga harus bisa di minta pertanggung jawabannya oleh pihak kepolisian, tidak hanya Masyarakat Kelompok Tani Hutan saja, namun itu semua kita serahkan kepada pihak-pihak yang berwenang sesuai regulasi yang ada,” ulasnya.
Sebelumnya dalam kata sambutan Kepala Desa Petani Rasikun menyampaikan, saya mewakili Masyarakat Desa Petani mohon kepada Pemerintah dan Anggota DPRD Riau, untuk dapat membantu masyarakat kami, karena lahan warga itu didapatkan dari hasil pembelian dari warga Masyarakat tempatan itu sendiri, kami bukan membuka lahan itu, tapi kami membelinya dari warga asal disini, kemudian Rasikun melanjutkan, se-ingat saya dulu dikabarkan bahwa seluas 70% lahan di Riau ini lahannya masuk dalam HPT, namun Masyarakat tidak mendapatkan sosialisasi dari pemerintah untuk di wilayah mana saja yang pasti masuk kawasan HPT itu sendiri, karena sejak dulu masyarakat sudah membangun rumah dan mengelola lahan serta bercocok tanam pertanian juga perkebunan oleh warga masyarakat itu sendiri,” tutupnya.
Anggota DPRD Provinsi Riau, Hj. Mira Roza SH menyampaikan, kehadiran kami disini atas keinginan Masyarakat terkhusus warga kelompok tani hutan yang merasa terzolimi, oleh karena itu kita sangat berharap kepada aparat penegak hukum untuk lebih objektif dan sportif dalam melakukan sebuah tindakan hukum, harus sesuai dengan mekanisme dan regulasi yang ada, jangan sampai ada warga yang dijadikan korban sehingga merasa terzolimi dan tidak merasakan keadilannya di negeri ini,” ucapnya.
Dikonfirmasi Ketua Umum LSM. Komunitas Peduli Hukum dan Penyelamatan Lingkungan (KPH-PL) yang sempat mengikuti jalannya pertemuan Masyarakat Kelompok Tani Hutan dengan sejumlah lembaga Pemerintah, Amir Muthalib menyebutkan, kita sangat mendukung kebijakan pemerintah dalam program pemasangan tapal batas patok tanah sempadan, hal itu sangat baik untuk menghindari sengketa lahan antar warga masyarakat, namun yang anehnya bagi kami adalah, kenapa ini malah menjadi polemik bahkan menjadi sebuah persoalan perkara hukum, ini namanya diskriminalisasi terhadap warga, hal itu tidak boleh terjadi di republik ini, mengingat Hutan Produksi Terbatas (HPT) merupakan Lingkup hutan dengan jenis, tanah lereng serta intensitas hutan, yang setelah dikali dengan angka penimbang berada pada sektor diantara 125-174, hutan HPT itu berada di luar lingkungan hutan lindung, suaka alam, pelestarian alam dan taman buru, bahkan Pemerintahan Jokowi sudah meng-instruksikan untuk diterapkan Undang-undang Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020 dan PP 24 tahun 2021, Nah harapannya kita jika tanda batas patok tanah itu masuk dalam HPT tentunya petugas dari Pemerintah haruslah mencari solusinya untuk menghindari konflik, jangan sampai terindikasi Pemerintah diskriminatif terhadap warga negara,” imbuhnya.
Dihubungi Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Rokan, Apidian Suherdianta, SP. pada Rabu 8 Februari 2023 mengatakan, Mengenai hasil musyawarah sebaiknya di tanyakan kepada pihak komisi II, dari KPH Rokan hanya mendampingi terkait kawasan hutan yang berada di desa petani.
Pemasangan tanda batas berupa pal beton dilakukan/dilaksanakan oleh kementrian LHK melalui UPT KLHK yaitu BPKH pekanbaru. Balai pemantapan kawasan hutan (BPKH) pada Kementrian LHK.