“Kasihan, Bapak ,” bisik seorang wartawan
di tengah hiruk pikuk demo.
“Semoga Bapak, mampu bertahan,” timpal pria disampingnya. Tampaknya, seorang wartawan juga.
Terik matahari terasa “membakar”. Teriakan demonstran kian beringas. Toh, bisikan rasa iba tetap terdengar lirih: “Kasihan….”
Suara lirih itu, mengingatkan pada sosok pria berpostur kurus, ceking. Yang terus-terusan jadi “bulan-bulanan” kaum demonstran.
Masih seputar dugaan korupsi “Bansos Siak” tampaknya. Kasus yang menetapkan mantan Sekdaprov. Riau, Yan Prana ini, jadi terpidana, masih terus menjadi sasaran tembak para pihak.
Para peng-hunjuk rasa menduga kuat proses hukum kasus ini menerapkan teori: “Tebang pilih”.
Mereka menduga, keterlibatan “pohon” yang lebih kokoh lepas dari sasaran “tebas”.
Tak pelak. Kalangan pers yang masih independen marak memberitakan. Kelihatannya strategi pendekatan pers: “Belah-Bambu” semakin beringas.
“Yah…maklumlah. Namanya aja Strategi Politik: “Belah Bambu”. Satu Diangkat. Satu Dipijak..” celutuk seorang Pemimpin Redaksi Media Berita On-Line. Entahlah.
Entah masih ada jeda di tengah jejal tugas yang terjadwal. Entah masih ada suasana tidur nyenyak di istana (?).
Ironisnya. Di tengah iklim politik regional terus memanas. Para loyalis yang terus menjauh.
Konon, menurut info yang beredar, “kepercayaan” bagi pejabat-pejabat senior di lingkungan Pemprov. Riau sudah sangat minim.
Entahlah….
Penomena ini, tentu saja produk dari sikap kekuasaan. Enam bulan terakhir, warna strategi politik-nya terlalu gampang dibaca.
Trik “Belah-Bambu” yang dimainkan, tampaknya epektif menyemai kebencian.
Mempertahankan otoritas atas like and dislike, ternyata, jadi bumerang. Kredibilitasnya mulai rapuh kala rekomendasinya tidak “dianggap”.
Ada “missing link” dalam alur komunikasi dengan poros nasional. Ketika penetapan Sekdaprov. Riau beberapa waktu silam, gejala ini mulai kentara.
Situasi kian klimaks, kala “dipaksa” melantik Pejabat Wali Kota Pekanbaru & Pejabat Bupati Kampar tanggal 23 Mei silam. Konon, kedua pejabat ini justru orang yang tidak direstuinya.
Dari titik ini, muncul berbagai spekulasi. Para pengamat politik kelas gurem membuat hitung-hitungan.
Analisisnya sederhana: Jika kedua Pejabat Kepala Daerah itu, adalah figur di luar rekomendasinya. Kenapa dari semula mereka tidak diusulkan?
Bukankah terasa menyakitkan, jika Mendagri ternyata lebih “jeli” menetapkan sosok untuk pejabat penguasa di dua daerah Sub-Regional Riau, itu?
Apa boleh buat. Tekanan politik telah mewujud jadi tekanan psikologis. Bagi pria yang usianya “kepala enam” tekanan psikis beruntun ini, dinilai bukan masalah sederhana.
Yah….semogalah bapak bisa bertahan…
Tetapi, dalih di pihak lain terasa elegan juga. Tidak diusulkan kok malah “maju” sendiri?. “Itu sama dengan mempermalukan Penguasa Riau. Kasihan donk….?!
Terlepas dari itu. Aroma balas dendam mulai menguar. Jejak kedua pejabat itu mulai diusik.
Buktinya, berita di media daerah, memuat ekses pelantikan itu. Jabatan yang ditinggali kedua pejabat itu mulai diusut-usut. Untuk apa?
“Yah, jika dikorek-korek terus, bisa jadi ketemu “bercak” aroma korup,” celutuk seorang Jurnalis yang terlihat masih loyal.
Tetapi, bukankah trik itu bagai membangunkan singa tidur? “Jika tanganmu kotor, jangan sentuh kitab suci,” seorang politisi marginal, menggerutu.
Maksudnya? “Yah… jika Anda sendiri tidak bebas noda, kok malah, mengusut-usut kasus orang?” kilah sang Politisi sembari menunjuk ke arah Kantor Gubernur, Riau…..*