Oleh : Dr. Elviriadi
Malam ke 8, pemuda Almasri tak dapat memicingkan matanya. Ngantuk tak membuatnya tertidur, sebongkah kegelisahan terasa menyelinap didadanya.
“Ah, harus kuusir jauh jauh rasa itu. Perjuangan ku melawan para bedebah akan kandas, ” terdengar suara hatinya ketika jarum jam dinding berdentang 12 kali.
Almasri, seorang intelek muda yang progresif. Pernah bergabung organisasi kiri (sosialis), tetapi dia merasa ada yg kurang. Lalu dia mencari literatur dan bertemu dengan Ali Shariati, “Islam Agama Protes” dan “Tugas Cendikiawan Musllim”. Dua buku wajib aktivis gerakan pada masanya, yang mengajarkan: Islam dan Tauhid sebagai sumber penolakan terhadap kesewenangan.
Tapi malam itu, kembali menderu deras arus bersilangan di laut jiwa Almasri. Ya, bayangan seorang gadis tetiba merasuk ke kelopak matanya. “Dinda Febrianti,” nama itu terasa bergetar ketika ia menyebut dari lubuk hati.
Gadis yang ia jumpai seketika mengorganisir petani di sebuah desa. Yang intonasi suaranya bulat, serak serak basah, bola mata yang tajam bak elang mengintai mangsa, dan -ternyata oh ternyata- juga seorang akivis mahasiswa asal Yogya.
Sejak itu nalar juang pemuda Almasri menjadi bergelora membuncah. Berbulan bulan. Ghiroh pemuda kurus tirus itu menanjak. Advokasi dan narasi tekstual kritis terus mengucur dari mesin tik tua peninggalan sang ayah. Almasri mencapai momentum puncak kegemilangan Artistik-Sastra puitik dan Altruisme (rela berkorban) Ideologis setelah bertemu : “Dinda Febrianti”
*Hijrah Karena Allah*
Hari Jumat sore, Almasri tiba tiba di timpuk sebuah tangan separuh baya. “Nak Almasri, Abah tengok kegiatan mu bertambah, tapi ada sesuatu yang agak berbeda,” berkata orang tua yang tak lain mentor Almasri sekaligus adik ayah. Pemuda 20-an jelang kepala 3 itu terkejut tak alang kepalang. Ia seperti di sengat listrik berarus kecil.
“Abah baca status WA, posting facebookmu, dan celotehan Tweeter. Nak, ketahuilah. Cinta pada perjuangan umat itu adalah dakwah akhlakul karimah. Dia tak bisa diduakan. Siapa nama gadis itu, Dinda Febrianti ya?” Ingatlah Sabda Nabi saw, Jika engkau hijrah karena wanita, engkau hanya mendapatkan takdirmu wanita itu. Tapi engkau tak mendapatkan keagungan cinta-Nya, penghornatan tulus manusia, dan janji janji Tuhanmu di kehidupan yang abadi dan pasti, ” kata kata sang paman mengucur bak air hujan.
“Jangan kau gantikan “cinta segitiga” keabadian, dengan “cinta segitiga” yang sementara, sebentar dan musnah. “Cinta Segitiga” keabadian adalah Dirimu-Allah dan Ummat. Dirimu harus jadi hamba yang benar, berjuang melawan kaum korporasi penjarah hutan dan negeri karena cintamu pada Allah. Bukankah Allah swt melarang merusak bumi, penindasan dan perampasan tanah dan ketidak-adilan. Sedang cinta ketiga adalah Ummat, tempat amal shalehmu. Jadikan advokasi basis massa mu berdimensi akhirat agar ia bernilai ibadah. Bukan karena materi, uang, fasilitas dan kenikmatan dunuawi yang tak kekal, ” kata-kata sang paman membuat mata Almasri mulai berkaca. Pagi hari setelah subuh. Almasri meninggalkan desa tempat dia “menyauk” energi rindu dan semerbak balada tirani negeri.
Di dinding Facebook sana, Dinda Febrianti terkesima seraya membaca :
“Sobatku Dinda Febrianti..
Ada semenanjung murung disudut matamu..
Ketika perahuku rebah di pelabuhan patah..”
Dan hujan tumpah oleh dayung angin, yang menggelombangkan fragmen rindu pada selendang waktu.
Meskipun aku tahu, aroma bangkai masa lalu yang tersangkut di akar bakau lebih menusuk hatimu dan hatiku yang payau..
Aku pergi…sebab tak ingin aku disini. Selama para bedebah korporasi, menambah air mata anak negeri, yang diperam dalam gubuk luka.” Dan seperti biasa angin pasang mendiamkan malam, dengan hempasan gairahnya dipantaimu dan pantai ku yang galau. Kini aku datang memilih dua cita yang tak boleh didua. Memaksa rinduku berbelok ke hulu.
Karena engkau pun tahu, dinda, biduk perahuku bertambal sulam dengan hari hari penuh seteru.
Namun, takkan kuucapkan sepatah risau, bahwa diseberang laut, kedamaian hanya mimpi buruk, dalam sejarah yang mengigau. Selamat tinggal Sobat. Ku pilih cinta Tuhanku, sedang dirimu ku tunggu di taman syurga….
Dr. Elviriadi adalah seorang penulis sastra, cerpenis dan juga intelektual kritis.