PEKANBARU, Riauintegritas.com – Baru baru ini insan pers dikagetkan dengan pemberitaan dari salah satu media online nasional. salah satu wartawannya yang ditugaskan liputan di Provinsi Riau seperti dilecehkan profesinya oleh salah satu pejabat komisi yang lahir dari undang – undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. Komisi Informasi.
Saat menjalankan tugas mulianya melakukan konfirmasi kepada salah satu komisioner Komisi Informasi Provinsi Riau, wartawan itu dihadapkan dengan pertanyaan yang sangat menusuk batin setiap insan pers jika mengalami pengalaman yang sama. “kamu saudah UKW? Jika belum saya tidak bersedia dikonfirmasi, Saya ini wartawan juga”. ungkap salah satu penjabat komisioner Komisi Informasi tersebut.
Ironisnya lagi, pejabat itu melayangkan pertanyaannya dengan nada tinggi sambil berdiri dipintu ruangannya dengan mengisap sebatang rokok. tulis sang wartawan di dalam beritanya.
Terkesan seakan sang pejabat tidak menghargai profesi wartawan itu ketika melakukan tugasnya sebagai seorang jurnalis yang sedang berburu informasi untuk menghadirkan berita yang berimbang kepada masyarakat. terasa kecamuk di baitin sang wartawan dari artikel yang dia tulis.
Seperti diketahui didalam tulisannya, wartawan media online nasional itu sedang berburu informasi terkait adanya laporan kode etik salah satu komisioner Komisi Informasi Provinsi Riau oleh pemohon informasi.
Pemohon informasi itu melaporkan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh salah satu komisioner Komisi Informasi dalam melaksanakan proses sidang dengan nomor Reg.014/PSI/KIP-R/V1/2022 dan Reg.015/PSI/KIP- R/VI/2022.
Didalam surat pengaduannya mengatakan bahwa ada dugaan proses sidang yang dilanggar oleh majelis komisioner ketika menggelar perkara. disebutkan oleh pemohon informasi itu, majelis komisioner tetap menggelar sidang meskipun pihak termohon tidak membawa bukti identitas berupa surat kuasa dari atasan PPID Utama. seharusnya kata dia, apabila pihak termohon tidak membawa bukti identitas berupa surat kuasa dimaksud, maka komisioner menskor sidang dan mengagendakan sidang pemeriksaan lanjutan. tetapi komisioner melanjutkan proses sidang dengan agenda mediasi.
Pada tahap mediasi pemohon informasi mengatakan ternyata pihak termohon menyampaikan bahwa ada informasi yang diminta merupakakan informasi tertutup atau dikecualikan. mendengar adanya informasi yang dikecualikan, pemohon informasi langsung menarik diri dari mediasi. hal ini dilakukannya karena pada sidang awal komisioner tidak ada menanyakan kepada pihak termohon apakah informasi yang diminta oleh pemohon ada informasi yang dikecualikan atau tidak? pihak termohon pada sidang Pemeriksaan Awal hadir, tapi tidak dapat menunjukkan surat kuasa dari Atasan PPID Utama Pemko Pekanbaru.
Masih dalam surat pengaduannya, pemohon informasi itu menyampaikan komisioner Komisi informasi memutus perkaranya tanpa adanya pembuktian dari masing masing pihak. seharusnya kata dia, jika ada informasi yang dikecualikan, maka pihak termohon harus membuktikan dalil – dalil beserta bukti otentik Bahwa informasi yang diminta oleh pemohon informasi adalah informasi yang dikecualikan didalam agenda sidang pembuktian. namum komisioner langsung pada tahap pembacaan putusan.
Atas surat pengaduan yang dilayangkan oleh pemohon informasi itu, ketua Komisioner Informasi Provinsi Riau membalas dengan surat klarifikasi. didalam suratnya mengatakan bahwa seluruh tahapan proses Penyelesaian Sengketa Informasi Nomor Reg.014/PSI/KIP-R/V1/2022 dan Reg.015/PSI/KIP- R/VI/2022 sudah berjalan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku.
Terkait dengan tuduhan saudara adanya pelanggaran kode etik,terlalu jauh jika saudara menuduh Majelis Komisioner yang memeriksa dan memutus sengketa informasi Nomor.Reg.014/PS/KIP-RV1/2022 dan Reg.015/PSI/KIP-R/VI/2022 dengan dugaan telah melanggar kode etik.
Dapat kami pahami bahwa saudara tidak puas dengan prosedur, serta tahapan yang ditempuh oleh Majelis Komisioner dalam proses Penyelesaian Sengketa a quo, namun dari proses awal hingga akhir setelah kami simak, pelajari dan kami telaah seluruh prosesnya sudah berjalan sesuai dengan regulasi yang ada.
Terkait dengan proses Mediasi sebagaimana pasal 38 Perkip PPSIP memang mengamanahkan agar Majelis Komisioner agar mengupayakan Mediasi, oleh karenanya ini adalah wilayah dan kewenangan Majelis Komisioner bagaimana cara dalam mengupayakan untuk menempuh proses Mediasi terlebih dahulu.
Jika saudara tidak puas dan tidak menerima hal tersebut saudara bisa menolak, namun faktanya saudara tetap mengikutinya, dan juga termasuk terhadap Putusan Komisi Informasi Provinsi Riau Nomor:Reg.014/PSI/KIP-RV1/2022 dan Reg.015/PSI/KIP-R/V1/2022. saudara bisa melakukan upaya hukum banding ke pengadilan yang berwenang (PTUN). demikian bunyi surat klarifikasi yang dikutip dari media radarnusantara.com.
Sebelumnya, pengalaman yang tak jauh berbeda juga pernah dialami wartawan media online lokal saat melakukan konfirmasi ke kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Riau.
Kala itu, wartawan media online bersama pemohon informasi mendatangi kantor BPK Perwakilan Provinsi Riau. pemohon informasi ingin mengklarifikasi terkait dokumen yang diberikan oleh termohon informasi salah satu OPD di Kabupaten Rokan Hilir.
Dari data yang diperoleh oleh pemohon informasi terdapat anggel berita yang menarik untuk disuguhkan kepada pembaca, karena jawaban yang diminta oleh pemohon informasi melampirkan dokumen pemeriksaan oleh BPK Perwakilan Riau.
Tentu untuk mendapatkan informasi berimbang, perlu adanya konfirmasi kepada pihak BPK. Tetapi pejabat humas yang menemui wartawan dan pemohon informasi menanyakan apakah sang wartawan memiliki UKW dan medianya terdaftar di dewan Pers. meskipun terlihat dari gestur tubuh dan intonasi suaranya tersirat keraguan saat menayakan UKW kepada siwartawan.
Dari gesturnya mengisaratkan bahwa pejabat humas itu kurang memahami atau bahkan tidak mengerti secara menyeluruh terkait tugas seorang jurnalis dalam berburu informasi.
Dari dua peristiwa diatas yang menimpa wartawan saat melakukan tugas jurnalistiknya berburu informasi, seakan menghidupkan kembali memori tahun lalu, dimana insan pers yang tergabung di beberapa organisasi pers melakukan aksi demonstrasi ke kantor Gubernur Riau dalam upaya menolak isi salah satu pasal yang ada di peraturan gubernur Riau nomor 19 tahun 2021 Tentang Penyebarluasan Informasi Penyelengaraan Pemerintahan Di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Riau.
Didalalm Pergub nomor 19 itu, terdapat pasal yang oleh golongan insan pers yang menolak Pergub Nomor 19 dinilai tidak tepat sasaran, bahkan ada yang menilai isi dari sebagian pasal 15 tidak layak dan sangat tidak adil bagi sebagian para wartawan dan perusahaan pers.
Didalam pasal 15 ayat (3) huruf (b), (c) dan (h) secara umum dikatakan bahwa syarat untuk bisa menjalin kerjasama media dengan Pemprov Riau harus perusahaan yang terdaftar di dewan pers dan wartawan memiliki UKW (Uji Kompetensi Wartawan).
Tentu apa yang dialami oleh dua wartawan tadi diduga merupakan imbas dari diberlakukannya pergubri nomor 19 tahun 2021 itu. seperti efek domino, bahwa wartawan yang bisa melakukan liputan, wawancara dan berburu informasi harusnlah wartawan yang memiliki UKW dan perusahaan media harus terdaftar di Dewan Pers.
Dari peristiwa itu akan menimbulkan pertanyaan. bagaiman dengan wartawan yang tidak memiliki UKW? dan bagaimana dengan perusahaan pers yang tidak terdaftar di dewan pers? apakah tidak boleh melakukan peliputan, wawancara, dan berburu informasi? kemudian perusahaan pers yang tidak terdaftar di dewan pers tidak layak menayangkan beritanya?
Apakah ini hakekat dari UKW dan perusahaan pers harus terdaftar di dewan pers?
Sedangkan seperti yang kita ketahui, Kemerdekaa pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat, dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara yang demokratis.
Sebagai pengemban amanat pilar ke empat demokrasi disamping Eksekutif, Legistatif dan Yudikatif, pers berperan untuk menjaga keseimbangan antara pilar pilar penyelenggara negara, serta menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan yang telah mereka mandatkan pada penyelenggara negara.
Dari sisi sosiologis, terbitnya pergub nomor 19 tahun 2021 Tentang Penyebarluasan Informasi Penyelengaraan Pemerintahan Di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Riau dikahwatirkan memunculkan perpecahan dikalangan insan pers itu sendiri. Akibat dari pergub ini akan adanya peng kastaan bagi kalangan pers, akan menimbulkan pen-stigmaan (ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya – KKBI) perusahaan yang tidak terdaftar di dewan pers akan dikatakan perusahaan “gelap” (tidak resmi) dan tidak kredibel dalam menjalankan usahanya yang pada akhirnya tidak layak melakukan kerjasama dengan pemerintahan.
Apabila pen-sitgmaan ini terus berlanjut akan menimbulkan dampak ekonomi bagi pemilik perusahaan pers maupun bagi wartawan yang bernaung di perusahaan pers terebut.
Perusahaan pers terebut akan sulit untuk bertahan menjalankan usahanya. Didalam undang-undang pers dikatakan bahwa perusahaan pers selain berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Artinya perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi agar kualitas pers dan kesejahteraan wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.
Karena secara garis besar sumber pendapatan perusahaan pers berasal dari dua item, yakni dari kontrak kerjasama dan dari pendapatan iklan.
Pemerintah melalui Pergub nomor 19 itu secara tidak langsung telah melabeli perusahaan yang tidak terverifikasi ataupun terdaftar administrasi di dewan pers tidak layak melakukan kerjasama, bukan tidak mungkin akan merembet kepada calon pengiklan lainnya, baik dari pihak swasta ataupun dari pihak pemerintahan itu sendiri, akan enggan beriklan di perusahaan tersebut.
Akibatnya perusahaan pers itu atan sulit untuk bertahan. Akan menimbulkan dua pilihan yang sulit, yang pertama perusahaan pers akan mengurangi jumlah karyawannya, termasuk para wartawannya (tentunya yang tidak memiliki UKW), atau perusahaan pers itu akan mati dengan sendirinya.
Kalau kita merujuk kepada undang undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Didalam pasal I tentang ketentuan umum, pada point 1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi masa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, menggunakan media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia.
Pada point nomor 2 dikatakan. Perusahaan pers adalah badan hukum indoensia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelanggarakan, menyiarkan, dan menyalurkan informasi.
Artinya kalau menyangkut perusahaan pers, tentu mengacu kepada undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sebuah badan hukum perseroan terbatas harus mendapat pengesahan dari mentri hukum dan ham, memiliki surat domisili, NPWP, SIUP, TDP/NIB dan izin-izin lainnya dari departemen teknis terkait.
Dengan kata lain, jika perusahaan pers telah memenuhi persaratan yang diminta didalam undang undang nomor 40 tahun 2007 tersebut, secara otomatis, perusahaan tersebut telah legal melaksanakan kegiatan usahanya. Sangat tidak elok membranding suatu badan usaha pers yang tidak terdaftar ataupun terverifikasi dewan pers sebagai perusahaan yang tidak resmi, karena negara telah mengakui pendirian perusahaan itu melalui pengesahan dari Mentri Hukum dan Ham. Tentunya ber landaskan rasa keadilan, seharusnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan perusahaan yang telah terdaftar maupun terverifikasi dewan pers.
“wartawan yang baik harus dibuktikan
dengan prosesi karya jurnalistik yang dia tulis”.
Begitu juga bagi pribadi wartawannya. Wartawan yang tidak melakukan UKW, akan ter stigma menjadi wartawan yang abal-abal. akan dianggap wartawan “kelas rendahan” yang tidak memiliki kompetansi dalam melaksanakan profesinya sebagai jurnalis.
Dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, didalam pasal 1 point 4 dikatakan, wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Drs. Wahyudi L Panggabean, MH seorang wartawan senior dari bumi melayu yang dari rahim pemikirannya telah banyak melahirkan wartawan-wartawan yang memiliki dedikasi tinggi dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Didalam bukunya yang berjudul Wartawan Berani Beretika mengatakan “wartawan bermoral adalah wartawan yang paham kode etik jurnalistik. Wartawan bermoral adalah wartawan yang “bersih” sehingga memiliki keberanian memerankan profesinya dalam menegakkan nilai nilai kebenaran. Menuliskan berita berdasarkan tata etika. Tanpa prasangka, tanpa rasa takut, dan tanpa terikat kepentingan”.
Jika kita mencoba memaknai pemikiran itu, tersirat bahwa seorang wartawan haruslah memiliki dedikasi yang tinggi didalam menjalankan profesinya dan memiliki attitude (Perilaku) tunduk kepada kode etik jurnalistik. Seorang wartawan harus tetap berproses dengan waktu yang cukup panjang yang dilakukan secara terus menerus untuk membuktikan bahwa seorang wartawan terebut memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk dapat dikatakan sebagai seorang wartawan yang profesional.
Secara singkat, Beliau mengatakan “wartawan yang baik harus dibuktikan dengan prosesi karya jurnalistik yang dia tulis”.
Jadi jelas bahwa profesi wartawan tidak dapat diukur dengan “selembar kertas” ataupun jumlah nominal berapapun, karena ini menyangkut integritas seseorang dalam menjalankan profesinya sebagai seorang jurnalis.
Insan pers semestinya harus bersatu karena memiliki nafas yang sama. Sebagai kontrol sosial.
Dilain hal, bisa saja berbeda pemikiran, tetapi menyangkut kebebasan pers, haruslah bersatu. Pers tidak boleh di dikte oleh kekuasaan.
Orientasi pers haruslah mengarah kepada kepentingan umum, kepentingan rakyat, serta memperjuangkan hak asasi manusia dan penegakan hukum, bukan hanya sekedar press rilis pemerintah.
Mengkoreksi Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2021 yang ditandatangi oleh Gubernur Syamsuar dan PJ Sekretaris Daerah Masrul Kasmy bukan sekedar dapat atau tidaknya kerjasama di pemerintahan. Terlalu dangkal dan naif jika berfikir seperti itu.
Perjuangan ini menyangkut kepentingan yang lebih luas, tentang kebebasan pers.
Pers harus mejaga independensinya. Baik telah melakukan kerjasama dengan pemerintah, ataupun tidak melakukan kerjasama dengan pemerintah.
Pers tidak boleh “mandul” dalam menjalankan perannya sebagai control penyelenggara pemerintahaan, namun juga memberikan apresiasi terhadap kebijakan pemerintah yang pro rakyat.
Di internal sendiri sesama insan pers tidak boleh adanya peng-eksklusifan, karena kita di ikat dalam satu ikatan yang sama melalui undang undang pers dan kode etik jurnalistik.
Kita bersepakat, Fungsi UKW dan mendaftarkan perusahaan pers di Dewan Pers semata mata untuk meningkatkan kwalitas pers. tetapi tidak untuk dijadikan senjata untuk meraup keuntungan sesaat.
Jangan sampai efek domino Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2021 itu menimbulkan kecelakaan kebebasan pers di Riau.