PEKANBARU- Maraknya gerakan LGBT di dunia belahan barat kini telah merebak ke dunia belahan timur, tak terkecuali Indonesia. Perilaku LGBT muncul ke permukaan melalui media sosial, meskipun budaya Indonesia yang sarat akan nilai keagamaan menentang keras hal mengenai LGBT tersebut. Lebih jauh, tidak sedikit pula perilaku LGBT ditemukan di mahasiswa.
Mahasiswa rantauan dengan pengawasan orangtua seminim-minimnya dan askes media sosial (aplikasi kencan online) seluas-luasnya membuat mereka rentan terpapar LGBT dengan mudah.
Hal ini pun juga meresahkan warga daerah Dusun III Bencah Limbat Desa Pandau Jaya, Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau yang tinggal berdampingan dengan mahasiswa.
Melalui keresahan ini, dosen Universitas Islam Riau, Sigit Nugroho, Alucyana, dan Ersaliya Arezah menyusun Program Pengabdian kepada Masyarakat yang tepat guna dalam menghadirkan solusi dari permasalahan.
Berlandaskan teori Bronfenbrenner, diketahui bahwa, sistem keluarga merupakan mikrosistem, atau sistem yang memberikan pengaruh signifikan dalam kehidupan seseorang.
Melalui pendekatan ini, Program Pengabdian kepada Masyarakat berbentuk psikoedukasi dilaksanakan dengan bertemakan “Pentingnya Kehadiran Ayah dalam Keluarga untuk Mengurangi Risiko Terpapar LGBT pada Anak”.
Psikoedukasi dihadiri oleh masyarakat Dusun III Bencah Limbat Desa Pandau Jaya, Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dengan rincian 30 orang di dusun; 60 orang di Masjid Istiqamah; dan 100 orang di sekolah An-Nawawi.
Sebagian besar dari partisipan adalah laki-laki yang telah berkeluarga sehingga psikoedukasi ini tepat sasaran. Psikoedukasi dimulai dengan pembukaan, pemaparan materi oleh pemateri, dan dilanjutkan dengan tanya jawab.
Secara garis besar, pelaksanaan psikoedukasi berjalan sukses. Partisipan memberikan reaksi positif, baik partisipan yang berasal dari dusun maupun dari sekolah.
Salah satu dari partisipan, Bapak Y, mengakui bahwa, isu LGBT memang simpang siur, namun pencegahannya dengan keterlibatan peran ayah dalam keluarga merupakan wawasan keilmuan yang baru baginya.
Partisipan B juga menyampaikan keresahan terhadap perkembangan teknologi digital yang sulit dikendalikan sehingga mengkhawatirkan nasib sang anak.
Dengan pemaparan materi ini, Bapak B mulai dapat memahami strategi yang dapat ia gunakan dalam menghadapi keresahan tersebut.
Antusiasme partisipan juga ditemukan di sekolah An-Nawawi yang meminta sesi tambahan dikarenakan isu ini rentan terhadap generasi selanjutnya. Sekolah lain pun meminta program berikut diadakan pula di sekolah mereka. (Rls)