Pada Persidangan tersebut juga terungkap fakta menarik dimana, Terdakwa Maryani jugalah korban di Fikasa Group. Maryani menerangkan, “dana yang saya juga investasikan di Fikasa Group sebesar 14 Milyar Rupiah, semua keuntungan saya investasikan kembali kesana, karena saya juga bekerja disana saya juga percaya”.
Pekanbaru, RI – Sidang lanjutan perkara dugaan Investasi Bodong yang menjerat karyawan Freelance PT. Fikasa Group Maryani digelar di Pengadilan Pekanbaru dengan agenda pemeriksaan terdakwa, Senin, (7/2/22) malam.
Pada keterangannya, Terdakwa Maryani menjelaskan pertemuan dengan Bapak Archenius Napitupulu, Fikasa Group, dan Terdakwa (dalam perkara lain) Agung Salim. awal dia bergabung dengan Fikasa Group mendapat informasi dari temannya sewaktu bekerja di Mega Capital Securitas, dimana teman Maryani tersebut telah lebih dulu bergabung terlebih dahulu dengan Fikasa Group.
Sementara perkenalan terdakwa dengan Korban Archenius Napitupulu semenjak tahun 2007 ketika Maryani bekerja di Bank Commonwealth, dan Archenius Napitupulu adalah salah satu nasabahnya.
Dari pengalamanya mengenal Archenius Napitupulu, Maryani mengenal Archenius sebagai sosok yang pintar, kritis dan teliti. “Bahkan bila dikelompokkan sebagai high risk profile customer sehingga dalam mengenalkan ataupun menawarkan produk saya tidak mungkin miss selling.” kata Maryani didalam keterangannya.
Lebih lanjut, Maryani menerangkan salah satu pertimbangannya bekerja di Fikasa Group karena beban kerja di Mega Capital yang semakin berat, sementara di sisil ain dia mempunyai tanggung jawab untuk mengurusi anak-anaknya. dan maksud kepindahannya dari Mega Capital ke Fikasa Group juga setelah meminta pendapat kepada Archenius Napitupulu.
Sementara itu, Maryani juga menjelaskan, sebelum memutuskan bergaung dengan Fikasa Group, di sempat mendalami tentang sistem bisnis dari Fikasa Group. dijelaskan oleh Maryani, pada pertemuan dengan pimpinan Fikasa Group Bapak Kitab Siagian dan Agung Salim, dia sempat menanyakan mengenai izin dari Fikasa Group.
“Pertemuan pertama saya di restoran Angke Jakarta dengan Bapak Kitab Siagian dan Bapak Agung Salim, di sana cukup banyak pertanyaan yang saya ajukan termasuk mengenai izin dari Otoritas Jasa Keuangan. dan dijelaskan oleh Bapak Agus Salim, saat itu bahwa izin dari Otoritas Jasa Keuangan adalah Inti Fikasa Sewrindo dimana dijelaskan juga bahwa pada tahun 2014 securitas sempat di freeze karena menjual produk sendiri dan dianjurkan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk pembentukan produk Promissiory Note, Di bawah nama PT. Wahana Bersama Nusantara dan PT. TGP disini juga dijelaskan oleh Bapak Agung Salim bahwa Promissiory Note itu merupakan pinjaman dua belah pihak yang mana merupakan asas kepercayaan antara kreditur dan debitur,” ungkap Maryani.
Maryani menjelaskan kembali, pertanyaan yang pernah ditanyakannya kepada Agung Salim di tanyankan juga kepada Kitab Siagian, begitu juga dengan rekan-rekannya yang telah lebih dulu bergabung di Fikasa Group. bahwa jawaban yang dia terima dari orang-orang tersebut sama dengan jawaban yang diberikan oleh Agung Salim. “Kemudian saya memutuskan untuk bergabung dengan Fikasa Group,” kata Maryani.
Setelah bekerja di Fikasa Group terdakwa Maryani bertemu kembali dengan Archenius Napitupulu dengan membawa company profile. ia mengaku telah menjelaskan yang mempunyai izin hanya Inti Fikasa Securindo. dan tidak pernah menutupi informasi yang disampaikan Bapak Komisaris Agung Salim.
Begitu juga dengan informasi mengenai kondisi perusahaan pada tahun 2014, dimana kegiatan perusahaan pernah dibekukan securitasnya karena menjual produk sendiri sehingga Otoritas Jasa Keungangan (OJK) menganjurkan membentuk produk Promissory Note atas nama PT. Wahana Bersama Nusantara (PT. WBN) dan PT. Tiara Global Propertindo (PT. TGP).
Lebih lanjut, Maryani menjelaskan tugasnya sebagai Marketting Freelance menjelaskan produk perusahaan berupa Promissory Note yakni surat hutang dimana perusahaan meminjam kepada para kreditur untuk pengembangan proyek-proyek perusahaan. “saya jelaskan bahwa promissory note merupakan asas kepercayaan antara kreditur dan debitur seperti yang dijelaskan oleh Bapak Agung Salim kepada saya,” ungkapnya dihadapan Hakim.
Selanjutnya, Maryani menerangkan bahwa Bapak Archenius Napitupulu adalah high risk profile customer di mana dia sangat mengerti mengenai pasar uang saham dan produk derivatif bahkan Reksadana offshore juga beliau mengerti, “Jadi sangat tidak mungkin beliau tidak bisa membedakan produk promissory note dengan deposito,” katanya.
“Apalagi seperti yang Bapak Archenius Napitupulu jelaskan sendiri di saat sidang bahwa saya menjelaskan mengenai hotel dan pabrik air minum membuktikan bahwa saya tidak mengatakan ini deposito tetapi pinjaman atau surat hutang untuk pengembangan bisnis. Bahwa saya juga tidak pernah mengatakan mereka orang yang sangat kaya tapi saya jelaskan mengenai risiko apabila terjadi wanprestasi yang terpenting adalah mereka mempunyai aset yang cukup banyak dan usahanya jelas mulai dari pabrik air minum sampai dengan perhotelan,” sambung Maryanai pada keterangannya.
Lebih jauh, Maryani menerangkan pertemuan pertama terjadi antara dirinya dengan Bapak Archenius Napitupulu, Bapak Kitab Siagian, Bapak Agung Salim, dan Ibu Pormian Simanungkalit di Hotel Ritz-Carlton, Pacific Place Jakarta sekitar bulan Agustus/September. Dan hasil pertemuan itu Bapak Archenius Napitupulu men-support Maryani dengan mengirimkan dananya di bulan Oktober 2016 di saat hendak mengirimkan dana dia memberikan nomor rekening sesuai dengan yang tercantum di dalam formulir yaitu Bank BCA atas nama PT. WBN tapi Archenius Napitupulu meminta apakah ada rekening CIMB Niaga ataupun Bank Mandiri.
“Hal ini saya tanyakan langsung ke Bapak Agung Salim dan diberikan nomor rekening sesuai pilihan bank yang bapak Napitupulu kehendaki karena beliau tidak mau RTGS. Jadi semua yang saya lakukan adalah atas permintaan Bapak Archenius Napitupulu dengan persetujuan dari Bapak Agung Salim tidak ada prosedur yang saya langgar,” jelasnya dalam dipersidangan itu.
“Bahwa setelah mengirimkan uang ke perusahaan karena beliyet dan perjanjian baru akan diterima setelah 7 sampai dengan 10 hari kerja seperti yang saya jelaskan bahwa bahwa Bapak Archenius Napitupulu adalah orang yang sangat teliti beliau meminta untuk tanda terima sementara sebelum ia menerima bilyet dan perjanjian hal ini saya sampaikan juga kepada Bapak Agung Salim dan kemudian saya diberikan format yang ada dari pusat dan itu saya diminta tandatangani yang berfungsi sebagai tanda terima sementara sebelum bilyet dan perjanjian Promissory note diterima,” ungkap Maryani.
Dengan isak tangis, Maryani membantah mengenai bujuk rayu yang dilakukan, ia juga menjelaskan pertemuan ke rumah Archenius Napitupulu hanya untuk melaporkan rekap dana yang telah diinvestasikan dan jatuh tempo. “ketika jatuh tempo Bapak Archenius Napitpulu selalu meminta hadiah yang diperoleh setiap akan menambah dana maka beliau akan meminta saya menyediakan form kosong untuk diserahkan ke Andi Situmeang dan saya hanya menerima from dari Andi Situmeang,” kata Maryani.
Maryani juga membantah keterangan saksi lainnya diluar Archenius Napitupulu, Pormian Simanungkalit, dan Melli, Maryani, karena tidak pernah bertemu. Perihal tuduhan bahwa Saksi Pelapor tidak pernah mencairkan dana yang diinvestasikan kepada Fikasa Group, terdakwa mengatakan bahwa pihaknya memiliki bukti pencairannya. “barang bukti di penasehat hukum saya bahwa ada pencairan sebagai berikut: Pormian Simanungkalit sebanyak 2 kali, Sdri. Haryanti Napitupulu, dan Rudolf Sibagariang,” terang Maryani.
Pada persidangan tersebut Maryani juga menjelaskan, bahwa dia tidak pernah memaksa ataupun merayu bahkan menjebak seperti yang dituduhkan kepadanya. Ia mengatakan, ini produk deposito kalau satu kali atau dua kali saya mencoba masih masuk akal tapi bila total ada 23 apakah masih bisa dianggap jebakan? kata dia.
“Dan yang paling saya ingat pernah sekali Bapak Archenius Napitupulu menelepon saya sekitar jam 6 sore saya diminta ke rumahnya saya tidak bisa karena sudah pulang kantor saya minta maaf padanya dan meminta jadwal esok harinya saya bahkan disindir beliau bahwa saya tidak butuh uang dan mengatakan pada saya kalau dia jam 9 malam disuruh datang oleh klien pun akan dia datang,” ungkap Maryani.
Lanjut Maryani, “Bahwa untuk Ibu Pormian saya tidak pernah membujuk atau menawarkan yang ada adalah saat saya bertemu Bapak Archenius Napitupulu beliau kadang-kadang ikut mendengarkan kemudian mendekati saya lalu akan meminta komisi ataupun hadiah apabila Bapak Archenius Napitupulu atau beliau sendiri ikut penempatan dana. Bahwa untuk Ibu Mely saya sering bertemu di rumah Bapak Archenius Napitupulu tapi sekalipun saya tidak pernah menawarkan atau bahkan Ibu Melly ikut mendengarkan saya menawarkan kepada bapak yang ada bila bertemu hanya sekedar bersapa dan basa-basi kemudian pergi begitu saja.”
Terungkap juga fakta lanjutan bahwa setiap Investor sering meminta cashback berupa emas lebih 1 milyar rupiah lebih dan uang cash untuk pembelian 2 mobil kepada Archenius Napitupulu, dimana semua uang cashback tersebut berasal dari uang pribadinya.
“Mengenai pencairan dana Bapak Archenius Napitupulu, saat itu juga saya ajukan pencairan dan mendekati bulan Februari Bapak Agung Salim meminta kepada saya untuk tolong menyampaikan kepada Bapak Archenius Napitupulu untuk diperpanjang terlebih dahulu karena sedang kesulitan untuk cash. Hal ini saya sampaikan kepada Bapak Archenius Napitupulu akan tetapi beliau tidak bersedia dan setiap hari terus mendesak saya untuk mengurus ke Jakarta hal yang sama saya sampaikan kepada Bapak Agung dan saya tidak bisa apa-apa sampai saat jatuh tempo dana tersebut tidak bisa dicairkan. Saya mulai dicaci maki oleh Bapak Archenius Napitupulu dan Ibu Pormian,” kata maryani.
“Bahwa saya terus mendesak Bapak Agung Salim dan bertanya dengan Bapak Kitab Siagian yang kemudian berusaha lepas tangan dengan mengatakan dia sudah tidak bekerja lagi dan saya tidak bisa apa-apa kemudian karena situasi makin tidak kondusif karena hampir setiap hari saya di maki bahkan Ibu Pormian ke kantor saya melempar-lempar barang bahkan ancaman kepada saya didatangi preman Ambon sampai ke rumah saya maka atas instruksi Bapak Agung Salim saya tidak diperbolehkan lagi mengangkat telepon dan berhubungan dengan Bapak Archenius Napitupulu dan keluarga. Karena akan langsung di-handle oleh pusat dan di delegasi kan ke Bapak Kitab Siagian,” sambungnya lagi.
Maryani menjelaskan, Bahwa selama proses pendelegasian tersebut saya tetap memantau dan ada beberapa aset yang ditawarkan oleh Bapak Agung Salim yang semua ditolak oleh Bapak Archenius Napitupulu sampai akhirnya Bapak Kitab Siagian juga tidak sanggup dan kemudian dipublikasikan kepada bapak Lutfi selaku corporate secretary dan selalu tidak tercapai kata damai sepengetahuan saya. “Bahwa jujur semua kejadian ini di luar batas kemampuan saya untuk membantu karena saya hanya menjalankan tugas,” jelas Maryani.
Pada Persidangan tersebut juga terungkap fakta menarik dimana, Terdakwa Maryani jugalah korban di Fikasa Group. Maryani menerangkan, “dana yang saya juga investasikan di Fikasa Group sebesar 14 Milyar Rupiah, semua keuntungan saya investasikan kembali kesana, karena saya juga bekerja disana saya juga percaya”.
Maryani juga menerangkan mengenai alasan tidak menjawab telepon dari Saksi Pelapor, “Bukan saya tidak mau mengangkat, saya selalu dimaki oleh Saksi Pelapor Archenius Napitupulu dan Pormian Simanungkalit, rumah saya juga pernah didatangi preman ambon, kemudian saya laporkan kepada Terdakwa (pada perkara lain) Agung Salim, oleh mereka saya tidak diizinkan untuk tidak mengangkat telepon itu lagi.” Lebih lanjut lagi persidangan yang diwarnai isak tangis tersebut, Terdakwa Maryani menegaskan, “saya adalah korban dan saya tidak bersalah , “saya menyesal bergabung dengan Fikasa Group,” tutupnya.