Riau, Riauintegritas.com – Pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjend.) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono, benar-benar melukai hati jutaan petani kelapa sawit di tanah air.
Bayangkan Bambang mengatakan penggarap lahan sawit yang masuk kawasan hutan lindung dan hutan konservasi harus berhenti mengusahakan kebunnya. Malah, Bambang dengan arogannya, meminta petani sawit mencari penghidupan di sektor lain.
Berbicara kepada pers di Kantor Ombusdman RI di Jakarta (30/10) silam, Bambang menyebut Putusan Mahkamah Agung (MA) melarang aktivitas kebun sawit setelah kena sanksi. Harus kembali ke kawasan tadi.
“Catat loh. Pemulihan kawasan hutan itu tetap kita lakukan terhadap areal sawit yang tidak ada izin pelepasan kawasan di HL dan HK, selesai bayar denda maka dilanjutkan pemulihan oleh pelaku usahanya,” tegas Bambang, ketus.
“Silahkan cari pekerjaan lain. Toh di tempat lain dia bisa kerja,” ujar Bambang dengan arogan, seperti diberitakan, SawitIndonesia.Com.
Banyak pihak, menyayangkan pernyataan dan arogansi itu. Sebagai pejabat publik, Bambang akan lebih manusiawi menggunakan kata-kata yang menyejukkan hati petani sawit yang jumlahnya sekitar 17 juta itu.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat – Assosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP – Apkasindo), Dr. Gulat ME Manurung, MP., C.IMA, tentu saja orang yang sangat prihatin atas ungkapan Bambang yang bernada menghina petani itu
Gulat Manurung mengatakan petani sawit Indonesia yang tersebar dari Aceh sampai Papua sangat terhina dengan statemen dari Sekjen KLHK tersebut.
“Pernyataan Beliau yang mengatakan silahkan tinggalkan dan cari pekerjaan penghidupan lain, sangat menyayat hati kami Petani sawit” ujar Gulat dari Nusa Dua Bali saat menghadiri Indonesian Palm Oil Conference (IPOC).
Gulat menilai Bambang sebagai pejabat publik tidak berempati sama sekali. Padahal, katanya petani sawit sudah berjibaku dengan terik matahari dan hujan untuk menghidupi keluarga.
Petani, kata Gulat tidak pernah menyusahkan negera. Bahkan, memberikan pemasukan dan devisa negara terbesar pada 10 tahun terakhir.
“Apakah kita tidak melihat fakta itu?” Gulat bertanya.
Petani sawit selama ini, demikian Gulat, dengan segala keterbatasan sudah mencoba untuk memahami maksud dan tujuan dari UUCK tersebut.
“Sepanjang perjuangan itu kami selalu melakukan komunikasi ke KLHK. Untuk itu, tolonglah gunakan bahasa yang lebih elegan dan lebih manusiawi,” kata Gulat.
Menurutnya, petani sebagai manusia punya hak dalam negara ini dan UUD 1945 Pasal 33 menjamin itu. Petani, tentu saja, bukan hewan yang bisa seenaknya: diusir-usir.
“Saya berharap statemen Sekjen KLHK bukan seperti yang dimuat dalam media massa baru-baru ini. Jika itu benar, tentu sangat menyayat hati kami 17 juta petani sawit dan pekerja sawit dan kami akan menanyakan langsung ke Beliau, apa maksudnya?” tanya Gulat.
“Semua orang tau bahwa Pasal 110-B itu sangat tidak masuk akal “sudahlah di denda mahal dan hanya satu daur pula lalu KLHK akan memulihkan kembali ke hutan,” tegas Gulat.
“Coba sebutkan satu saja putusan pengadilan yang sudah Inkracht Van Gewijsde yang memerintahkan suatu daerah atau perkebunan untuk dihutankan kembali yang sudah dikerjakan KLHK?” ujar Gulat bertanya.
“Sepengetahuan saya tidak ada. Bahkan putusan pengadilan ada yang sudah puluhan tahun tidak di eksekusi-eksekusi dengan berbagai alasan.” urainya.
Kalau dicari-cari siapa yang salah, ujar Gulat, seperti kata Luhut Pandjaitan, Ketua Pengarah Satgas Sawit bahwa semua kita salah, pejabat negara dimasanya, pejabat KLHK/Lembaga di masanya, Kades, Camat, Bupati dan Gubernur dimasanya, Masyarakat, Pengusaha, semua salah.
“Lantas, kenapa hanya kami yang menanggung atas semua kesalahan ramai-ramai itu?,” tuturnya.
Menurut Gulat konsep Pak Luhut Binsar Panjaitan, sudah benar tentang Satgas Sawit. Solusinya, menata dan memperbaiki semua dari hulu sampai hilir sawit. Gagasan ini, akan meningkatkan pemasukan negara. Bukan malah sebaliknya.
“Menurut perhitungan analisa saya bahwa sekitar 2,7 juta Ha akan diarahkan ke Pasal 110 B oleh KLHK, dan hal ini akan sangat teramat beresiko,” ucapnya.
Dia mengatakan dampak penanganan pasal itu bakal merembet ke sektor lainnya, dan paling tidak Indonesia akan kehilangan 10 juta ton CPO tiap tahun atau setara dengan 8,5 juta ton minyak goreng yang hampir sama dengan kebutuhan minyak goreng Indonesia untuk 2 tahun.
“Kelangkaan migor akan terjadi lagi, kita akan kehilangan uang Rp125-145 Triliun per tahun dari perputaran hulu-hilir sawit, negara akan kehilangan ratusan triliun dari pajak-pajak, BK dan Levy dari 2,7 juta ha tadi dan yang paling berbahaya adalah dampak sosial, ekonomi, kambtibmas,” tandas Gulat.
Suatu yang sangat aneh, jelasnya, ketika negara lain berupaya keras supaya sawit bisa tumbuh di negaranya, tapi justru kebalikan dengan KLHK.
“India sebagai negara pengimpor terbesar minyak sawit Indonesia dan turunannya, saat ini dengan rekayasa iklim mikro dan pendekatan bibit unggul sudah berhasil membudidayakan 300 ribu hektar perkebunan sawit dan 4 tahun kedepan ditargetkan akan mencapai 2 juta hektar,” ujar Gulat.
“Jadi suatu yang sangat antagonis dengan pasal 110B ini, Pasal yang mematikan dari KLHK dan kami petani sawit Indonesia tidak akan diam begitu saja,” pungkas Gulat.*