TAPUNG HILIR- Insiden penganiayaan oleh kelompok bersenjata api terhadap para nelayan di Dusun Bencah Seratus, Desa Kota Garo, Tapung Hilir, Kampar, 21 November 2023 silam, ternyata bembekas luka mendalam bagi korban.
Selain trauma fisik dan trauma mental, para “Nelayan-Sungai” ini pun terancam kehilangan mata pencaharian.
“Masalahnya, saat penyerangan, penganiayaan dan pembakaran pondok kami, peralatan kami sebagai nelayan, berupa: sampan, jala dan pancing turut dirusak dan ditenggelamkan mereka,” kata Jaka, salah seorang korban.
Akibatnya sampai hari ini, para nelayan ini, belum dapat melakukan aktivitas keseharian mereka. Yakni menangkap ikan di sungai.
Diketahui, “Sungai Tapung Kanan” tempat mereka menangkap ikan sehari-hari, merupakan salah satu sumber pemasok komoditas ikan sungai untuk wilayah Pekanbaru dan Kampar.
Khususnya, jenis Ikan Baung, Selais, Lomak, dan lainnya banyak berasal dari tangkapan mereka, selama ini.
Untuk itu, Ketua Kelompok Tani dan Nelayan “Bencah Seratus”, Mukti Arifin, menghimbau agar pihak terkait, bisa memberi solusi.
“Kita berharap, Pemerintah Kabupaten Kampar, Pemerintah Provinsi Riau, DPRD dan para stake-holder bisa “urun rembug” dalam membantu masyarakat kecil yang kesusahan dan terzalimi ini,” katanya.
Lebih jauh, Mukti juga berharap, laporan-laporan ke Kapolri maupun Kapolda Riau, serta permohonan perlindungan yang telah dimintakan kepada Panglima TNI dan Korem 031/WB dapat didengarkan dan ditindaklanjuti segera.
Ia juga mengingatkan kembali, bahwa lahan hutan yang dikuasai, dirusak dan secara sepihak diambil alih dan dijadikan kebun sawit oleh CV. ARB milik Hansen Wiliam adalah tanah ulayat.
“Di lahan itulah nenek moyang warga Bencah Seratus, berkubur. Sedihnya, itupun turut dimusnahkan perusahaan milik warga keturunan Tionghoa tersebut,” katanya.
Harapan dan keprihatinan Mukti Arifin, diamini berbagai tokoh adat dan tokoh masyarakat.
Menurut mereka, tindakan premanisme itu, disponsori oleh pengusaha keturunan terhadap warga asli tempatan.
Apalagi memanfaatkan oknum aparat negara, katanya, adalah kebiadaban dan kesewenang-wenangan yang tidak dapat ditolelir.
“Kita yang orang asli putera daerah ini seperti dijajah oleh warga keturunan, mentang-mentang uang mereka tak berseri,” keluh salah seorang tokoh masyarakat.
Di tempat terpisah, Abdul Hamid, Aktivis Mahasiswa Kampar di Jakarta menyuarakan, agar pemerintah dapat memyita dan mengambil alih lahan perkebunan kelapa sawit yang saat ini dikuasai CV. ARB (Hansen Wiliam).
Dulu katanya, mereka mengambil lahan semaunya, masyarakat masih diam dan bersabar.
“Sekarang yang lahan yang tersisa secuil pun masih diganggu, dengan kekerasan pula,” tegasnya.
Pemerintah jelas Abdul Hamid, harus tegas agar kesewenangan warga pendatang ini tidak berujung pada kemarahan yang lebih besar dari warga.
“Kebun mereka harus disita dan difungsikan kembali sebagai hutan. Sebagai penyanggah dan paru-paru bagi daerah Riau,” tandas Abdul Hamid. (Tim).