Tim Kejati Riau Telah Bergerak, Telusuri Pelaporan Dana Publikasi Rp22 Milyar Pemprov Riau
Pekanbaru, RI – Laporan penggunaan APBD Riau tentang Belanja Publikasi di Diskominfo Provinsi Riau yang dilaporkan oleh Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik Satya Wicaksana ke JAMPIDSUS Kejaksaan Agung (KEJAGUNG) RI dengan nomor register 001/KHMPP-SW/SP/XI/2021 telah dilimpahkan ke kejaksaan tinggi Riau.
Hal ini dibenarkan oleh Assidik Kejati Riau Rizky saat di konfirmasi awak media.
Rizky menyampaikan laporan penggunaan dana publikasi sebesar Rp22 milyar telah dilimpahkan ke kejaksaan tinggi Riau.
“iya betul, prosesnya masih pengumpulan data dan keterangan” kata Riski menjawab pertanyaan awak media. Senin (4/4/2022).
Sebelumnya diberitakan terkait Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tahun 2020 yang diterbitkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Riau terdapat pos anggaran untuk publikasi sebanyak Rp22 Mikyar Resmi dilaporkan ke JAMPIDSUS Kejaksaan Agung (KEJAGUNG) RI di Jakarta.
Surat Resmi Laporan Pengaduan Masyarakat itu langsung diterima oleh Jaksa yang piket di Pos Pelayanan Hukum dan Penerimaan Pengaduan Masyarakat Pelayanan Informasi Publik KEJAGUNG RI, atas nama Sandy Putra A SH MH. Dengan nomor registrasi surat 001/KHMPP-SW/SP/XI/2021.
Tak dapat dipungkiri, dilaporkan nya dana publikasi sebesar Rp22 milyar merupakan bagian dari reaksi dari diterbitkan nya Peraturan gubernur nomor 19 tentang kerjasama media.
Dimana didalam pasal 15, perusahaan pers yang akan melakukan kerjasama media dengan pemprov riau harus terverifikasi Dewan Pers dan wartawannya harus UKW.
Hal ini menimbulkan penolakan dari insan pers dan perusahaan pers, dimana ada dugaan pasal 15 itu dapat memecah belah pers di Riau serta menjadi ruang untuk memonopoli kerjasama publikasi.
Sementara itu, Direktur Pekanbaru Jornalis center Drs. Wahyudi El Panggabean, MH didalam tulisannya yang berjudul Menunggu Indikasi Korup dalam Operasional Pergubri No.19 Tahun 2021 yang di terbitkan oleh media satuju.com 26 September 2021 mengatakan
Realitanya kian pelik, kala menelisik sumber dana justru bersumber dari APBD. Artinya, sesungguhnya masyarakat Riau lah yang paling dirugikan sebagai pendana program ini.
Coba bayangkan, yang mendanai masyarakat. Yang kehilangan informasi kebenaran justru mayarakat.
Malah mereka harus membeli koran yang mereka danai untuk menonton parade success story pejabat mereka di media yang mereka beli.
Toh, sedahsyat apapun dugaan kolusi dan dugaan korupsi dalam program kerjasama yang sudah ada sejak era Orde Baru itu, belum pernah terkonstitusi berupa sebuah peraturan.
Atas dasar itulah Pergubri No.19 Tahun 2021 tentang Penyebarluasan Imformasi terasa sebuah langkah luar biasa.
“Sepanjang sejarah Riau, ini pertama kali Gubernur meng-konstitusikan-diskriminasi terhadap institusi pers, yang semestinya dia bina”.
Atas dasar Legitimasi Dewan Pers sebagian besar media didiskriminasi. Tidak diurutkan dalam kerjasama itu. Di balik kerja sama itu sejumlah uang to…
Wajar jika ratusan pemilik media reaktif. Karena merasa didiskriminasi. Mereka melakukan protes. Baik melaui surat maupun pemberitaan yang rutin. Konon, demo besar-besaran sudah dirancang.
Terlepas dari polemik Pergubri ini, bagi saya sebagai Jurnalis yang dibesarkan di media profesional, program ini sudah barang lama.
Tetapi, masih merupakan sebuah pintu masuk melakukan investigasi dugaan korupsi dalam operasionalnya.